Sunday, November 27, 2011

JADI PNS ITU MASUK KOTAK

 OLEH :Ismail Elfash

Maaf…  judul di atas bukan menghina atau merendahkan profesi PNS, tapi kalau mau tahu jelas, ada penjelasannya di bawah.
Ada pepatah kuno yang abadi dari orang tua kita, “nak kamu harus pintar, nilai harus bagus, sekolah yang tinggi dan cari kerja yang bagus” Pepatah ini berlaku pada setiap orang tua di setiap daerah. Salahkah? Tentu tidak! Orang tua mana yang tidak mau anaknya dapat kerja yang bagus, sukses apalagi menjadi PNS.  Petuah tersebut seolah menjadi jimat yang harus ditelan bulat-bulat oleh sang anak. Sebagai bakti sang anak pada orang tua tentu mewujudkan keinginan orang tua.

Tapi sadarkah kita bahwa dunia sudah berubah sangat cepat. Orang tua kita dilahirkan pada zaman batu, sementara kita berada pada era Googling. Dulu era industialisasi pada waktu tembok Berlin runtuh sekitar tahun 1089 an, pepatah itu sungguh benar tepat dan sesuai dengan zamannya, tapi kini kita berada pada dunia yang baru, dunia yang tidak bulat lagi yang oleh thomas friedman disebut The Word Is flat dunia yang datar.
Abad industrialisasi sudah berakhir muncullah abad Informasi. Kini, siapa yang menguasai informasi maka dia menguasai dunia. Dan dia pasti kaya.  Maka harusnya petuah “nak kamu harus pintar, nilai harus bagus, sekolah yang tinggi, setelah lulus kuliah cari kerja yang bagus” sudah berakhir seiring dengan munculnya era informasi. Tentu kita tidak bisa melarang agar orang tua kita tidak menasihati seperti itu. Itu hak mereka, dan tidak salah.
Harusnya petuah tersebut berganti menjadi; “nak kamu harus pintar, nilai harus bagus, sekolah yang tinggi, setelah lulus kuliah buat perusahaan yang bagus” Beda-beda tipis memang, tapi kalau kita perhatikan pesannya sangat jauh berbeda. Yang satu diarahkan untuk mencari kerja (menjadi karyawan), dan yang satu diarahkan untuk menciptakan lapanga kerja (pengusaha).
Menurut Robert Kiyosaki menjadi pekerja dan menjadi pengusaha itu beda quadran. Maka akan sangat susah untuk berpindah quadran. Akan terpental dan ujung-ujung kembali pada quadran yang sama. Masalahnya bukan mana yang lebih sukses? Mana yang lebih baik? Bukan! Di semua quadran juga bisa sukses dan bisa baik. Tapi beda cara untuk meraih kesuksesan antara quadran kanan dan quadran kiri.
Menjadi karyawan baik swasta maupun pemerintah (PNS, BUMN, TNI, POLRI) terikat dengan aturan yang baku. Kerja nine to five untuk mendapatkan upah (gaji).  Mengharapkan gaji semakin tinggi, maka harus dibayar dengan ritme kerja yang makin tinggi dan tanggung jawab yang semakin besar. Menjadi karyawan menjalankan aturan-aturan (job desk) yang telah dibuat oleh atasannya. Kebanyakan waktu tersita untuk pekerjaan kantor, bahkan hari libur pun harus lembur atau menyelesaikan pekerjaan malam hari yang dibawa ke rumah. Itu semua karena tanggung jawab atau dengan kata lainnya -kalau tidak dilaksanakan/diselesaikan-  takut dimarahin atasan, takut tidak naik jabatan, takut insentifnya di tahan.  Bekerja di bawah tekanan, sambil berharap kenaikan gaji tiba.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. KENAIKAN GAJI.  Pasti senang! Dan kenaikan gaji sebagai anugerah terindah bagi karyawan. Dengan senang pula struk gaji diperlihatkan pada keluarga, dengan bangga bahwa kerja kerasnya telah dihargai oleh perusahaan atau pemerintah. Dengan bangga pula uang gaji yang naik tadi dibawanya ke super market.  Dibelanjakan kebutuhan dapur dan kebutuhan lainnya, anak-anak diberi hadiah boleh makan yang enak dan membeli mainan yang disukai. Waktu sudah sore, saatnya pulang.  Masih membayangkan betapa indahnya kini, karena  memiliki gaji yang besar. Dipandanglah struk-struk belanjaan, dilihatlah wajah-wajah ceria anak-anak yang kenyang habis makan enak dan nenteng mainan kesukaannya dan terakhir dihitunglah sisa uang yang ada di tangan. Tiba-tiba si Bapak terdiam, dahinya mengkernyit, tidak keluar sepatah kata pun seraya menarik nafas dalam-dalam. Fikirannya menerawang, gaji naik kok tetap saja kurang. Gaji naik hutang kartu kredit kok makin banyak. Gaji naik kok tidak bisa nabung. Gaji naik, tapi kok daya beli turun. Eforia si Bapak tentang kenaikan gaji pun sirna. Si Bapak sadar bahwa kenaaikan gaji sebenarnya penyesuaian terhadap implasi. Bahkan kalau dihitung berdasarkan implasi seharusnya kenaikan gaji si Bapak lebih dari ini. Terus,,, kemanakah gerangan kerja keras dan lebih keras yang dilakukan selama ini demi kenaikan gaji? Tidak ada! Karena angkanya, nominalnya yang naik tapi harga barang dan jasa telah terlebih dahulu naik.
Si Bapak tidak mau kehilangan wibawa di keluarga. Sang Bapak tetap tegar, memenuhi kebutuhan hajat hidup keluarga. Diam-diam si Bapak berbisik pada orang koperasi, atau menggesek kartu kredit, atau datang besimpuh kepada orang Bank dengan maksud yang gampang ditebak. Si Bapak telah terjerat permainan uang dan dipemainkan  uang.  Begitulah siklus kehidipan si Bapak sampai pensiun tiba. Apa yang diwariskan si Bapak demi anak dan keturunannya? Banyak! Ada medali, sertifikat, dan berbagai surat penghargaan dan tanda jasa.
Berbeda dengan ayah yang pengusaha, banting tulang, peras keringat, jatuh bangun dalam berusaha. Pada awalnya perih, pahit dan berdarah-darah. Tapi si Ayah punya mimpi menjadi orang kaya. Bekerja ada batasnya selanjutnya menikmati kekayaan.  Si Ayah bekerja tidak mengenal waktu, tidak mengaharapkan bayaran tapi membangun imperium bisnis. Pelan-pelan mimpi si Ayah terwujud, usahanya menghasilkan, uangnya diinvestasikan buat membangun usaha yang lain. Kini penghasilan si Ayah double karena bisnis Ayah berambah. Menghasilkanlagi dari 2 bisnisnya, diinvestasikan lagi uangnya. Ayah tetap hidup sederhana tapi bisnisnya bertambah terus, terus dan terus.
Hingga pada suatu hari si Ayah mengumpulkan seluruh karyawan dan anaknya untuk membuat suatu keputusan besar. Mulai hari ini ayah mau PENSIUN. Silahkan bisnis di urus oleh kalian seperti biasa, bahkan kalian akan naik gaji nya kalau omzet dan laba perusahaan naik.  Si Ayah terbebas dari pekerjaan, kini pensiun dan menikmati hasilnya. Karyawannnya pun senang, semangat, kerja makin keras lagi karena gajinya akan naik. Pundi-pundi kekayaan si Ayah naik terus. Usahanya menjadi suatu corporate. Sahamnya diperdagangkan di bursa. Nilai investasinya naik terus.
Si ayah sudah tidak bekerja, namun kini orang yang bekerja untuk dia. Dan uang yang bekerja untuk dia. Di akhir hayatnya Ayah meninggal dengan tenang mewariskan corporate, surat-surat berharga, saham dan investasi. Kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan Ayah dilanjutkan dan menjadi budaya perusahaan. Kini ayah telah tiada namun, segala jasa kebaikan, dan semangatnya menjadi nilai-nilai perusahaan.
Kedua ayah tersebut telah tiada. Namun maaf yang satu menjadi poor dad (ayah miskin) dan yang satu menjadi rich dad (ayah kaya).
Ayah kaya mewariskan kekayaan, dan mempersiapkan anak-anaknya untuk menjadi kaya dengan cara mewariskan kekayaan dan mengajarkan kesuksesan. Sebaliknya ayah miskin menyuruh anaknya memperoleh pekerjaan bagus dan mendapatkan upah yang tinggi dibarengi dengan gaya hidup yang tinggi, budaya konsumtif yang massif diiringi oleh cara berfikir mudahnya mendapat pinjaman, mudah pula mengahbiskan uang. Yang tersisa hanya medali, tanda jasa dan kenang-kenangan yang bernilai sejarah tapi tidak bernilai investasi (UANG)
Saya punya guru yang ditawari untuk menjadi PNS, bahkan karena kecerdasan sang guru,  pernah diberikesempatan untuk mengajar di salah satu perguruan negeri bergengsi untuk dijadikan PNS. Tapi dengan halus beliau menolak, maaf saya tidak bersedia! Sambil pulang dia bercerita, takut terbelenggu dengan aturan, dan bekerja demi uang, serta bekerja di bawah tekanan  sehinga seperti masuk kotak. Beliau sampai kini menjadi pengusaha handal dan ternama
Kisah diatas diceritakan dalam buku poor dad rich dad dan buku cashflow quadran karangan robert kyosaki
Salam sukses!
Think the best, do the best, life the best

No comments:

Post a Comment