Sunday, November 27, 2011

Fukuda, Perwira Jepang yang Kasmaran (Yohanes Apriano)

Jika kita membaca ulang kisah penjajahan Jepang di Indonesia, tak dipungkiri lagi bahwa praktek-praktek kejam yang terorganisir seperti Romusha dan Jugun Ianfu meninggalkan luka di hati para korban dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Konon penjajahan yang hanya berlangsung selama 3 ½ tahun ini tidak kalah menyengsarakan rakyat Indonesia jika dibandingkan dengan penjajahan Belanda yang berlangsung selama 3 ½ abad. Catatan: lamanya penjajahan Belanda ini masih dapat diperdebatkan karena Belanda baru dapat menguasai Aceh, Nusa Tenggara dan daerah lain di Indonesia pada awal abad ke 20.

Pulau Jawa yang secara Geopolitik sangat strategis sebagai pusat kendali atas Nusantara yang terdiri dari ribuan pulau, memiliki banyak cerita tentang kejamnya penjajahan Jepang. Akhir-akhir ini program acara televisi yang mengisahkan hal tersebut sering menghiasi layar kaca kita. Masyarakat di daerah lain pasti memiliki kisah yang sama, namun saya tidak ingin mengurai lebih banyak tentang penjajahan Jepang karena selain tidak terlalu kredibel dalam bidang sejarah, saya hanya kembali menampilkan memori dan gambaran umum kita tentang para “agresor” tersebut.
Apakah ada kisah humanis yang menggambarkan sisi lain dari mereka? Mungkin jasa seorang Laksamana Maeda yang menyediakan rumahnya untuk persiapan kemerdekaan Indonesia menjawab pertanyaan tersebut. Pasti ada kisah lain yang tidak harus bersinggungan dengan revolusi Indonesia, tetapi terjadi dalam masyarakat kita dalam kurun waktu tersebut.
Saya ingin bercerita tentang kisah yang pernah dituturkan oleh Oma saya yang kini telah berusia 84 tahun. Kisah di mana beliau menjadi tokoh yang langsung berinteraksi dengan sang tokoh utama yaitu “ Fukuda”, seorang perwira Jepang yang kala itu bertugas di Bajawa, sebuah kota kecil di tengah pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Ini hanya kisah lisan yang menurut saya menarik untuk diceritakan kembali sebagai sebuah sejarah kecil (petite histoire) meskipun tidak dapat disandingkan dengan petite histoirenya Rosihan Anwar.
Seperti daerah lain di Indonesia, masyarakat Flores juga tidak dapat mengelak dari kerja paksa (romusha). Pembangunan berbagai jalan dan perkebunan kopi, seperti di Hokeng Flores Timur, Manggarai Flores Barat dan berbagai daerah mengharuskan sistem ini diterapkan untuk kepentingan penjajah Jepang. Sikap hormat terhadap penjajah Jepang juga diterapkan bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat dilarang untuk berkontak mata secara langsung dengan mereka. Namun yang membedakan, tidak ada kasus pemerkosaan terhadap gadis-gadis belia ataupun dijadikan jugun ianfu seperti yang terjadi pada daerah lain, mereka cukup menghormati wanita. Setidaknya itulah kesan Oma saya ketika berinteraksi dengan perwira maupun prajurit Jepang. Mungkin karena sikap-sikap yang cukup humanis inilah yang menyebabkan tidak terjadi pergolakan yang berarti di Flores.
Fukuda, seorang perwira Jepang yang mungkin berusia akhir 20 an pada tahun 1944 merepresentasi humanisme tentara Jepang di Bajawa kala itu. Entah di Jepang ia sudah memiliki istri atau belum, Fukuda tidak bisa menyembunyikan ketertarikannya terhadap Oma saya yang ketika itu baru menikah dengan Opa saya. Pasangan muda yang belum memiliki anak itu baru saja pindah dari Larantuka, kota di ujung timur pulau Flores ke Bajawa. Saat itu Oma masih berusia 19 tahun dan Opa berumur 24 tahun. Kebetulan Opa dan Oma bersama ibu dari Oma menempati sebuah rumah di belakang rumah Fukuda.
Singkat kata, Fukuda pun sering bertandang ke rumah Opa dan Oma saya. Fukuda yang penuh kasmaran tidak menyangka jika Opa adalah suami dari Oma saya. Fukuda menyangka jika pemuda yang sering dilihatnya tersebut adalah kakak sang gadis yang ditaksirnya. Pendekatanpun dilakukan dengan “calon mertua” dan calon “kakak Ipar”. Meskipun bahasa Indonesianya tidak terlalu lancar tetapi Fukuda sangat suka bercerita berbagai hal yang berkaitan dengan Jepang. Biasanya ia sering ngobrol dengan Opa dan ibu dari Oma saya karena Oma yang pemalu hanya berani mengintip dari balik kain pengganti pintu kamar tidur. Sesekali Fukuda tanpa malu-malu membuang gas atau kentut. Anehnya, Fukuda telihat cuek dengan hal tersebut. Sikap yang sangat aneh bagi kita orang Indonesia. Oma, Opa dan Ibunya Oma menahan tawa karena tidak enak jika harus tertawa terbahak-bahak, tapi Fukuda terus melanjutkan ceritanya.
Namun ketika ia bersendawa, wajahnya yang putih langsung memerah, raut malu tersamar di wajahnya. Berulang kali Fukuda meminta maaf sambil membungkukkan tubuhnya, seperti tradisi orang Jepang. Oma saya menyimpulkan sendiri bahwa orang Jepang lebih malu bersendawa ketimbang kentut…hehehehe.
Fukuda ternyata tidak memaksakan kehendaknya ketika tahu jika pemuda yang sering dijumpai di rumah sang gadis adalah suami gadis tersebut. Fukudapun mundur secara teratur. Selanjutnya saya tidak ingat lagi apa cerita Oma tentang Fukuda. Oma dan Opa masih menetap di Bajawa hingga 1945, karena anak pertama mereka dilahirkan di sana. Berita kemerdekaan Indonesia dalam bentuk selebaran yang dibuang dari atas pesawat sampai juga ke masyarakat Bajawa. Entah kemana Fukuda, perwira Jepang yang kasamaran itu? Mungkin ia kembali ke negeri matahari terbit. Negara yang sangat dibanggakannya ketika bercerita dengan Ibu dari Oma saya, Jepang.
Mungkin kini Fukuda sudah meninggal, jika masih hidup tentunya sudah sangat tua dan mungkin saja masih teringat akan kisah cintanya di tanah jajahan. Cinta tak selamanya memiliki…hehehehe.

No comments:

Post a Comment